LSF Tidak Lagi Memotong Film Bioskop: Penyensoran Kini Lebih Dialogis
Jakarta – Lembaga Sensor Film (LSF) kini menjalankan paradigma baru dalam proses penyensoran. Tidak lagi semena-mena memotong adegan film, LSF kini mengutamakan pendekatan dialogis yang lebih menghargai kreativitas sineas. Langkah ini menjadi bagian dari pembaruan sistem penyensoran di tengah pesatnya pertumbuhan industri perfilman Indonesia.
Ketua Subkomisi Teknologi Penyensoran LSF Satya Pratama saat nonton bareng film ‘Believe’ di Djakarta Theater
Penyensoran Film Kini Melibatkan Dialog
Menurut Ketua Subkomisi Teknologi Penyensoran LSF, Satya Pratama Kadranyata, pendekatan baru ini dilakukan dengan memberikan catatan terhadap adegan-adegan tertentu. Jika terdapat ketidaksepakatan, pihak LSF akan berdiskusi langsung dengan pihak industri agar keputusan bersama bisa diambil secara transparan dan adil.
“Kami hanya memberikan catatan bahwa di adegan tertentu sebaiknya tidak ditayangkan. Jika pihak industri film tidak sepakat, kami duduk bersama dan berdiskusi. Mereka sendiri yang memotongnya, bukan kami,” jelas Satya dalam acara nonton bareng film Believe, Minggu (27/7/2025).
Film Nasional Makin Berkualitas dan Diminati
Ketua Subkomisi Publikasi LSF, Nusantara Husnul Khatim Mulkan, mencatat bahwa sepanjang semester pertama 2025, LSF telah menyensor 124 film nasional. LSF menargetkan total 300 film nasional dapat dirilis hingga akhir tahun, jumlah ini melampaui capaian 2024 yang menyentuh 285 film nasional.
Selain jumlah produksi yang meningkat, jumlah penonton film nasional juga mencatatkan tren positif. Dari 122 juta penonton bioskop tahun ini, sekitar 80 juta orang atau 67% di antaranya memilih menonton film lokal.
LSF Tidak Menangani Sensor Film di Platform OTT
Satya menegaskan bahwa penyensoran film yang tayang di layanan OTT seperti Netflix bukanlah tanggung jawab LSF. Hal tersebut merupakan wewenang Kementerian Komunikasi dan Digital. Meski demikian, beberapa platform seperti Netflix juga mengajukan film Indonesia mereka ke LSF untuk disensor secara sukarela.
“Kami membangun komunikasi dengan asosiasi TV streaming seperti AVC, dan melakukan pendekatan secara personal,” ujar Satya.
Budayakan Self-Censorship Berdasarkan Usia
LSF mengimbau masyarakat agar menonton film sesuai klasifikasi usia. Terdapat empat kategori penyensoran usia yakni Semua Umur, 13+, 17+, dan 21+. Dengan kesadaran menonton sesuai klasifikasi, dampak negatif tontonan terhadap anak-anak bisa diminimalisasi.
“Kalau menonton film 17+ atau 21+, jangan bawa anak-anak. Budayakan self-censorship agar tontonan tidak menjadi bumerang bagi perkembangan generasi muda,” imbuh Satya.
Kolaborasi dan Apresiasi Terhadap Sineas
Acara nonton bareng film Believe merupakan hasil kolaborasi antara LSF dan Ikatan Alumni SMAN 8 Jakarta. Hadir dalam acara tersebut sejumlah alumni lintas angkatan, sutradara Arwin Tri Wardhana, serta para pemeran film seperti Ajil Ditto, M. Iqbal Sulaiman, dan Tubagus Ali.
Film nasional kini tidak hanya menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tetapi juga mendapat pengakuan internasional. Contohnya film animasi Jumbo yang menjadi salah satu film terlaris di Asia Tenggara. Hal ini menandakan bahwa kualitas film Indonesia semakin diperhitungkan.
LSF berharap, dengan penyensoran yang bersifat edukatif dan kolaboratif, industri perfilman Indonesia dapat tumbuh lebih sehat tanpa harus mengorbankan nilai artistik dan kreativitas sineas.